NUNUKAN – Denda sebesar Rp1,65 miliar yang dijatuhkan kepada pemilik kapal rute Nunukan–Tawau akibat dugaan pelanggaran keimigrasian menuai protes keras dari DPRD Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Denda itu dikenakan setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 33 penumpang warga negara asing (WNA) asal Malaysia dan Filipina yang masuk ke wilayah Indonesia dengan paspor yang masa berlakunya kurang dari enam bulan.
Imigrasi kemudian menjatuhkan denda Rp50 juta per orang kepada pihak kapal sebagai penanggung jawab alat angkut.
Anggota DPRD Nunukan, Saddam Husein, menyebut denda tersebut tidak hanya memberatkan, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan hukum terhadap pelaku usaha lokal.
Ia menegaskan bahwa pemilik kapal hanya berfungsi sebagai penyedia jasa angkutan dan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dokumen keimigrasian penumpang.
“Saya melihat situasi ini seolah-olah negara kita benar-benar sudah bangkrut. Rakyat sendiri pun ikut diperas melalui celah aturan. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” kata Saddam, Selasa (17/6/2025).
Saddam juga mempertanyakan mengapa penumpang yang dokumennya tidak sesuai tetap diberi izin masuk oleh Imigrasi Nunukan.
“Ini bukan semata kesalahan pemilik kapal. Imigrasi juga harus bertanggung jawab. Yang punya kewenangan periksa paspor itu Imigrasi, bukan pemilik kapal. Kalau memang paspornya tidak memenuhi syarat, seharusnya dipulangkan langsung hari itu juga,” ucapnya.
Lebih jauh, ia menuding adanya kelalaian Imigrasi Nunukan karena selama ini tidak pernah menyosialisasikan secara langsung kepada para pelaku usaha kapal soal ketentuan paspor WNA.
“UU Keimigrasian itu sudah ada sejak 2011, tapi kenapa baru 2024 dan 2025 jadi masalah? Ini menunjukkan adanya pembiaran dari pihak Imigrasi.”
Saddam juga mempertanyakan kesiapan sistem informasi yang seharusnya terintegrasi antara pemilik kapal dan Imigrasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 2 UU Nomor 6 Tahun 2011.
“Kalau sistem itu ada, pemilik kapal pasti bisa tahu siapa penumpang yang bermasalah. Tapi kalau sistemnya tidak jalan, kenapa pengusaha kapal yang harus menanggung kerugiannya?”
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang difasilitasi DPRD Nunukan antara penyedia jasa kapal dan pihak Imigrasi, DPRD menyatakan bahwa sanksi denda sebesar itu harus dievaluasi.
Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Andi Mulyono, menilai pemilik kapal tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena bukan pihak yang berwenang menolak penumpang.
“Kami di DPRD menilai ini bukan hanya soal siapa yang salah, tapi soal kepastian hukum. Jangan sampai yang tidak punya kewenangan justru dijadikan kambing hitam,” ujar Andi Mulyono saat memimpin RDP.
Sebagai tindak lanjut, DPRD Nunukan berkomitmen untuk menyampaikan persoalan ini langsung ke Direktorat Jenderal Imigrasi dan Kementerian Perhubungan. DPRD juga menyatakan bahwa penegakan hukum tidak boleh semata-mata tekstual, melainkan harus mempertimbangkan fakta di lapangan dan prinsip keadilan.
“Kami merekomendasikan agar denda ini ditinjau ulang dan tidak dibebankan kepada pemilik kapal. Itu keputusan kami dalam RDP. Ini harus dibawa sampai ke akar persoalan, bukan hanya diselesaikan di permukaan,” tegas Andi.(dv)